Pencabutan Status Tersangka Kasus Korupsi Rumah Duafa Aceh Utara Dinilai Bertentangan dengan Prinsip Hukum
Aceh Utara, – Pencabutan status tersangka dalam kasus dugaan korupsi pembangunan rumah duafa di Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh, menuai kritik karena dinilai bertentangan dengan prinsip hukum. Hal ini menyusul pengembalian uang negara oleh para tersangka, yang dianggap menjadi celah untuk menghentikan kasus pidana korupsi. Muhammad Hatta, dosen hukum pidana Universitas Malikussaleh (Unimal) Aceh Utara, menyampaikan pendapatnya pada Sabtu (11/1/2025).
Menurut Hatta, Kejaksaan RI telah mengeluarkan aturan terkait “aset recovery”, di mana kasus korupsi dengan nilai di bawah satu juta yang uangnya telah dikembalikan dapat dihentikan penuntutannya. Namun, ia menilai peraturan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dan prinsip dasar hukum pidana. Pengembalian uang hasil tindak pidana korupsi, menurut Hatta, tidak menghapuskan pidana itu sendiri.
Pencabutan Status Tersangka Tidak Sesuai dengan Hukum Pidana
Hatta juga menekankan bahwa permasalahan ini tidak hanya terjadi di Aceh Utara, tetapi juga di seluruh Indonesia. Sebagai contoh, dia menyebutkan kasus RJ Lino, mantan Direktur Pelindo, yang status tersangkanya bertahan lama karena tidak ada kewenangan untuk menghentikan penyidikan. “Jika seseorang ingin status tersangkanya segera selesai, mereka dapat mengajukan gugatan pra-peradilan. Itu adalah satu-satunya jalannya,” ujar Hatta.
Kasus Korupsi Rumah Duafa Aceh Utara
Sebelumnya, Kejaksaan Negeri Aceh Utara mengumumkan penghentian penyidikan kasus dugaan korupsi pembangunan rumah duafa pada 2 Juli 2024. Penghentian ini diikuti dengan pencabutan status tersangka terhadap lima individu yang terlibat dalam proyek tersebut. Kelima tersangka tersebut adalah Kepala Baitul Mal Aceh Utara (YI, 43) yang berstatus non-ASN, Kepala Sekretariat Baitul Mal Aceh Utara (ZZ, 46), Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) (M, 49), Ketua Tim Pelaksana (RS, 36), serta Koordinator Tim Pelaksana (Z, 39). Ketiganya berstatus ASN, sementara dua lainnya berstatus non-ASN.
Kelima tersangka telah disidik sejak Agustus 2022. Berdasarkan laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, ditemukan kerugian negara sebesar Rp 200 juta terkait proyek tersebut. Namun, para tersangka telah mengembalikan uang negara yang mereka peroleh secara tidak sah, dan seluruh proyek rumah duafa tersebut telah diselesaikan.
Kritik terhadap Penghentian Kasus
Pencabutan status tersangka dan penghentian penyidikan tersebut memunculkan pertanyaan tentang bagaimana hukum seharusnya ditegakkan dalam kasus tindak pidana korupsi. Meskipun pengembalian uang negara merupakan langkah yang positif, hal tersebut tidak seharusnya dijadikan alasan untuk menghentikan proses hukum yang sedang berjalan, terutama dalam kasus yang melibatkan kerugian negara.
Menurut para ahli hukum, terutama Hatta, pencabutan status tersangka ini menciptakan celah dalam sistem hukum pidana Indonesia, yang seharusnya tetap memperhatikan prinsip keadilan dan tidak hanya mengandalkan pengembalian kerugian negara sebagai alasan penghentian kasus.
Kesimpulan
Kasus pencabutan status tersangka dalam kasus korupsi rumah duafa Aceh Utara menunjukkan adanya ketidaksesuaian dengan prinsip-prinsip hukum pidana yang berlaku. Meski pengembalian uang negara oleh tersangka merupakan langkah positif, namun seharusnya hal tersebut tidak menghapuskan tanggung jawab pidana mereka. Proses hukum harus tetap berjalan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku untuk memastikan keadilan ditegakkan.